Wedangan Mbah Loso Karanganyar
segelas teh ginastel di wedangan Mbah Loso
Salah satu yang paling khas di Solo adalah wedangan-nya, di Jogja disebut angkringan, keduanya sama, tiada beda. Di setiap sudut kota, mulai petang Anda dapat dengan mudah menemuinya, semua wedangan itu memiliki pelanggan setia masing-masing.
Wedangan yang diangkat kali ini bukanlah wedangan yang terletak di Kota Solo, tapi di daerah tetangganya, Karanganyar. Pemilik wedangan ini bernama Mbah Loso, karena itulah wedangan ini kerap disebut oleh para pelanggan dengan sebutan wedangan Mbah Loso.
Makanan yang disajikan tidak berbeda jauh dengan menu wedangan kebanyakan, sego kucing (nasi sekepal dengan lauk bandeng secuil beserta sambalnya) dan berbagai macam gorengan adalah makanan wajib dari wedangan. Yang membuat wedangan mbah Loso begitu spesial adalah cita rasa tehnya yang sangat nJawani, ginastel, dari kata legi (manis), panas, dan kentel (kental).
Ya, di daerah Jawa Tengah, terutama Solo dan
sekitarnya, jika Anda memesan teh, maka secara otomatis Anda akan
mendapatkan teh manis. Semua wedangan memang tak pelit gula, di wedangan Mbah Loso sendiri, satu gelas wedang teh menggunakan gula sebanyak 3-4 sendok makan! Tanpa diaduk pun rasa manisnya sudah kentara.
Mbah Loso tidak pernah menutup-nutupi atau
merahasiakan racikan tehnya yang nikmat luar biasa itu. Dia menggunakan
tiga teh yang berbeda, lalu dicampur menjadi satu. Mbah Loso menamai
‘jurus’ tiga campuran tehnya dengan nama “Pak Djenggot balapan nyapu”. Seorang kawan pernah mencoba untuk ‘membajak’ teh buatan Mbah Loso, kawan saya itu ‘kulakan’
tiga merek teh tadi di Pasar Gede, lalu bagaimana rasa teh hasil
bajakannya? Yah, rupanya resep memang mudah ditiru, tapi cita rasa tetap
tak bisa ditiru
Mbah Loso selalu membuat seduhan teh dalam keadaan fresh,
karena baru disiapkan saat ada pesanan. 2-3 jumput daun teh campuran
tadi ditaruh dalam cangkir berbahan logam, lalu diseduh dengan air
panas, dan ditunggu beberapa menit. Air yang menjadi bahan baku untuk
membuat wedang pun tak sembarangan, air yang digunakan adalah air tanah, bukan PAM. Semua wedangan
juga menggunakan tungku arang untuk memasak air, bukan kompor gas atau
minyak tanah. Sedangkan untuk gulanya, Mbah Loso menggunakan gula
produksi Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar, yang merupakan peninggalan
jaman Belanda tapi masih beroperasi hingga sekarang. Hal-hal tersebut
tidak bisa dianggap remeh, karena ikut menentukan cita rasa teh itu
sendiri.
Wedang teh buatan Mbah Loso disajikan
dalam keadaan yang sangat panas, jadi kita harus menunggunya beberapa
saat agar lebih hangat dan bisa masuk ke tenggorokan dengan aman dan
nyaman. Sensasi rasa sepat di lidah yang beradu dengan rasa manis, lalu
ditambah dengan sensasi panas di tenggorokan menjadikan saya susah
melupakan cita rasanya, dan membuat saya kangen untuk kembali. Beberapa
kawan dan kerabat yang saya ajak ke sana pun mengamini. Saya tidak
bermaksud untuk berpromosi, tapi ingin berbagi, itu saja.
Mbah Loso
Wedangan Mbah Loso sudah berdiri sekitar
50 tahun yang lalu, dirintis oleh suami dari Mbah Loso. Suaminya sudah
berumur 80 tahun, sedangkan Mbah Loso sendiri sudah berumur 70an tahun,
di usianya yang begitu lanjut, dia masih tampak sehat, dan setiap malam
selalu setia membuatkan teh bagi para pelanggannya. Jaman baheula dulu,
saat alat transportasi belum maju seperti sekarang, wedangan
Mbah Loso biasa menjadi tempat mampir para petani sayuran dari
Tawangmangu yang akan setor hasil panen ke pasar-pasar di Solo. Letaknya
yang berada di jalan raya Karanganyar-Solo memang menjadi tempat yang
strategis untuk sejenak melepas lelah. Wedangan Mbah Loso berada sekitar 200 meter di sebelah barat Rumah Dinas Bupati Karanganyar.
Seandainya saja internet bisa menyajikan rasa dan aroma, ingin rasanya saya ‘meng-upload’
cita rasa teh Mbah Loso di internet :), tapi rupanya teknologi sekarang
memang belum sampai kesitu. Maka tak ada cara lain bagi saya, selain
mengundang Anda semuanya untuk sowan dan pinarak di wedangan sederhana milik Mbah Loso, menyeruput cita rasa tehnya yang luar biasa dan tak mudah dilupa, sembari berbagi cerita
sumber: tentangsolo
0 comments
Posting Komentar